Submit

Jumat, 28 Desember 2012

Semangat Nasionalisme dan Kearifan Lokal Rakyat Aceh




Dalam konteks nasionalisme, rakyat Aceh mewujudkan sikap nasionalisme tersebut dengan tetap bergabung dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia walau beberapa tahun lalu konflik perpecahan mendera wilayah ini. Dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia, rasa nasionalisme rakyat Aceh bisa dikatakan jauh lebih besar daripada wilayah-wilayah lain di republik ini. Masih terngiang dalam ingatan kita, bahwa perjuangan rakyat Aceh dalam membela kedaulatan bangsa dari agresi penjajah telah ada sejak abad 16. Saat itu Aceh termasuk salah satu dari lima kerajaan Islam terbesar di dunia, disamping kerajaan Ottoman Turki, Kerajaan Maroko, Kerajaan Isfan di Timteng, dan Kerajaan Agra di India. Aceh pun telah menjalin hubungan dagang dengan kerajaan-kerajaan tersebut.

Selama agresi militer Belanda tahun 1947-1948, Aceh tidak pernah ditaklukkan oleh Belanda sekalipun perang terus berkecamuk. Belanda rupanya mengalami trauma atas perang panjang dengan Aceh tahun 1873-1914 yang melahirkan pahlawan-pahlawan Aceh yang gigih seperti Teuku Umar, Panglima Polim, Cut Nyak Dien, dan masih banyak lagi lainnya. Pada agresi militer Belanda tersebut, Aceh membangun pemancar radio Rimba Raya yang disebut pula Radio Indonesia Kutaradja dan Suara Indonesia Merdeka, guna membendung propaganda Belanda melalui siaran Radio Batavia dan Radio Hilversum. Siaran radio Rimba Raya menjangkau seluruh tanah air, Penang, Kuala Lumpur, Manila bahkan hingga ke New Delhi, dan menyuarakan pesan dan berita Markas Besar Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang berpindah-pindah di Pulau Jawa dan Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumatera Tengah. Bukan hanya pemancar radio, rakyat Aceh juga menyiapkan Kutaradja (kini Banda Aceh) untuk sewaktu-waktu dapat dijadikan sebagai ibukota darurat Republik Indonesia.

Dalam kunjungan ke Aceh tanggal 16 Juni 1948, Presiden Soekarno mengajak rakyat Aceh untuk membeli sebuah pesawat terbang, yang sangat diperlukan untuk kepentingan negara. Di luar dugaan, rakyat Aceh spontan mengumpulkan uang dan tidak kurang 20 kg emas murni, yang cukup membeli dua pesawat jenis Dakota. Bahkan, uang masih tersisa untuk membiayai operasional para duta dan perwakilan Indonesia di luar negeri, seperti Singapura, Penang, New Delhi, Manila, dan PBB. Presiden Soekarno memberi nama pesawat Dakota pertama dengan “Seulawah” RI-001. Pesawat perintis yang mulai beroperasi Oktober 1948 itu merupakan kekuatan pertama Angkatan Udara RI dalam menerobos blokade udara Belanda. Pesawat itu menjadi jembatan udara antara pemerintah pusat di Yogyakarta dengan Pemerintah Darurat di Sumatera Tengah dan Kutaradja (Aceh).

Tidaklah berlebihan ketika Presiden Soekarno saat itu menjuluki Aceh sebagai “daerah modal” karena sumbangan moril dan materil yang begitu hebat untuk mempertahankan Indonesia merdeka dari ancaman pendudukan kembali Belanda. Hal lain yang juga tidak kalah penting adalah kontribusi seorang sastrawan sufistik Syech Hamzah Fansury. Beliau yang merupakan orang pertama yang menulis karya sastra dengan bahasa melayu, yang saat ini menjadi bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia merupakan bahasa persatuan yang merupakan salah satu inti penggerak semangat nasionalisme. Pesawat Seulawah RI dan Bahasa Indonesia merupakan dua hal yang merupakan kontribusi kearifan lokal (local wisdom) masyarakat Aceh dalam perjalanan bangsa Indonesia. Kearifan lokal merupakan kebijakan manusia dan komunitas dengan bersandar pada filosofi, nilai-nilai, etika, cara, dan perilaku yang melembaga secara tradisional untuk mengelola sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya budaya secara berkelanjutan5.

Para pendiri bangsa Indonesia sangat menyadari bahwa bangsa Indonesia ini terbentuk berlandaskan persamaan nasib, persamaan sejarah, persamaan perjuangan, serta persamaan cita-cita yaitu hidup dalam kebebasan, aman, serta adil dan makmur dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, berwawasan nasional, bukan berwawasan suku, ras, dan bukan pula berwawasan agama atau golongan. Dalam konteks inilah semangat nasionalisme yang menghargai perbedaan, kemajemukan dan keanekaragaman harus dijunjung tinggi dan ditanamkan kepada seluruh komponen bangsa, termasuk kepada seluruh individu warga negara Indonesia, baik generasi sekarang, terlebih lagi kepada generasi penerus bangsa Indonesia, agar mereka menyadari hakikat bangsa Indonesia yang besar ini.

Namun demikian krisis multidimensi yang berkepanjangan membawa dampak perubahan tantanan kehidupan sosial bangsa Indonesia, mengakibatkan perubahan perilaku, moral, dan etika masyarakat tertentu dengan merasa paling benar dan menyalahkan masa lalu. Euforia reformasi yang berkepanjangan, cenderung menjadi liar, tanpa memperhatikan norma dan etika dalam kehidupan bermasyarakat, sebagaimana telah diwariskan oleh nenek moyang kita jauh sebelum generasi saat ini lahir. Arah reformasi telah berbelok, tidak lagi sesuai dengan tujuan semula, sebagaimana slogan awal reformasi yaitu kebebasan, demokraktisasi, hak azasi manusia serta supremasi hukum, bahkan telah menampilkan potret kelabu dengan telah mengakibatkan rendahnya semangat nasionalisme warga negara.

Transformasi dan reformasi secara menyeluruh di segala bidang telah membawa perubahan pola hidup masyarakat Indonesia, yang menuntut kemampuan beradaptasi dalam menerima perubahan yang sangat cepat, namun tetap berpegang teguh pada norma atau kaidah-kadiah tertentu yang diyakini tepat untuk dijadikan sebagai falsafah pandangan hidup, pedoman bersikap, bertingkah laku, dan berbuat dalam mengarungi dinamika kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dengan demikian implementasi semangat nasionalisme warga negara saat ini paling tepat dianalisis berdasarkan berbagai aspek dinamis kehidupan, yaitu ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan termasuk kearifan lokal dari masyarakat Aceh yang telah keluar dari kemelut dan meretas hidup baru yang lebih damai.

Dari Aspek Idologi

Meskipun ideologi negara kita adalah Pancasila, namun pada era reformasi sekarang ini sebagian cendekiawan dan tokoh mencari-cari identitas sesuai dengan persepsi dan kepentingannya yang sempit, ingin meninggalkan Pancasila dan menjadikan ideologi lain sebagai ideologi bangsa Indonesia. Masyarakat yang majemuk dan berbeda dalam banyak hal, menjadi terkoyak-koyak saling mencurigai dan bahkan saling membunuh, sehingga tidak ada lagi keharmonisan dalam hidup berdampingan.



Pancasila dapat mempersatukan kemajemukan yang ada dan merupakan falsafah serta pedoman hidup bagi seluruh warga negara dengan segala kemajemukannya, serta mampu mengantarkan bangsa untuk mencapai cita-cita bersama. Bagi masyarakat Aceh umumnya agama dan adat merupakan nilai-nilai yang dipegang teguh dalam kehidupan bermasyarakatnya sehari-hari, sejalan dengan nilai-nilai yang terdapat dalam Pancasila.

Dari Aspek Politik 

Budaya berpolitik juga tercermin dari masyarakat Aceh yang merupakan daerah yang pernah dilanda konflik, baik vertikal maupun horizontal. Konflik merupakan hal lumrah yang terjadi dalam kehidupan manusia, dan tidak mungkin dihilangkan. Masyarakat Aceh dikenal sebagai masyarakat yang taat dan menjunjung tinggi agama dan adat. Ditemukan paling tidak empat pola penyelesaian konflik dalam tradisi masyarakat Gampong di Aceh yaitu di’iet, sayam, suloeh dan peumat jaroe. Pola ini merupakan pola penyelesaian konflik yang menggunakan kerangka adat dan syari’at. Oleh karena itu, peran ulama dan tokoh adat menjadi penting dalam penyelesaian konflik di Aceh.

Dari Aspek Ekonomi

Dalam era globalisasi yang bercirikan liberalisasi perdagangan dan persaingan antara bangsa yang semakin tajam, jika segenap permasalahan tersebut tidak segera dibenahi, boleh jadi Indonesia akan semakin terpuruk dan ditinggalkan bangsa-bangsa lain. Begitu juga Aceh, setelah bencana gempa dan tsunami melanda diharapkan terjadi suatu perubahan yang dikehendaki oleh masyarakat Aceh itu sendiri. Kemiskinan semakin meningkat setelah bencana tsunami dan kemudian gempa atau banjir yang datang silih berganti beberapa waktu kemudian memporak-porandakan barang-barang dan kekayaan masyarakat Aceh. Menurut data BPS, laju inflasi yang tinggi di Aceh pada tahun kalender (Januari-Juni) 2008 terjadi di kota Banda Aceh sebesar 7,30 persen dan Lhokseumawe 4,38 persen mengakibatkan daya beli menurun, sehingga masyarakat yang mengidap kemiskinan, sangat mudah untuk kembali terjebak dalam konflik sosial. Salah satu faktor yang melatarbelakanginya adalah karena adanya ketimpangan sosial ekonomi, ketidakadilan dan kemiskinan.

Semangat nasionalisme warga negara yang diharapkan dalam aspek ekonomi adalah dengan cara hidup hemat, cinta produksi dalam negeri, meningkatkan kualitas diri, jeli menangkap peluang, kreatif dalam menciptakan lapangan kerja, mampu mengembangkan dan menciptakan teknologi tinggi dan tidak melakukan praktek korupsi, kolusi, nepotisme dalam bidang perekonomian. Bagi masyarakat Aceh, semangat nasionalisme dengan kearifan lokal rakyatnya dalam membantu perekonomian negara tercermin dari sumbangan dalam bentuk emas di saat negara kita mengalami krisis dan sangat besar kontribusinya dalam pendapatan nasional dari hasil sumber daya alamnya seperti dalam bentuk gas alam, pupuk, hasil perkebunan.

Dalam kesepakatan Helsinki, beberapa keistimewaan yang diperoleh Aceh di bidang ekonomi adalah hak memperoleh dana melalui hutang luar negeri, penguasaan 70% hasil dari semua cadangan sumber daya alam setempat, menikmati perdagangan bebas dengan semua bagian Republik Indonesia tanpa hambatan pajak, tarif maupun hambatan lainnya serta menikmati akses langsung dan tanpa hambatan ke negara-negara asing melalui laut dan udara.

Dari Aspek Sosial Budaya

Era keterbukaan informasi serta pengaruh kemajuan teknologi saat ini berpengaruh langsung pada gaya hidup masyarakat. Apapun yang berasal dari luar negeri dianggap modern dan diterapkan dalam kehidupan masyarakat, padahal belum tentu sesuai dengan budaya bangsa yang agamis seperti bagi masyarakat Aceh tak mungkin untuk menghilangkan atau merubah identitas mereka. Kearifan budaya merupakan energi potensial dari sistem pengetahuan kolektif masyarakan untuk hidup di atas nilai-nilai yang membawa kelangsungan hidup yang berkeadaban. Masyarakat Aceh dikenal sebagai masyarakat yang terikat dengan agama dan nilai adat. Kekentalan nuansa adat dan agama terlihat dalam adagium “Adat bakPoteumeureuhom, Hukom bak Syiah Kuala; Qanun bak Putroe Phang, Reusam bakLaksamana”. Keberadaan ajaran agama dan adat bagi masyarakat Aceh menjadi penting,karena kedua komponen inilah yang menjadi standar perilaku masyarakat sehari-hari. Dimana kearifan lokal masyarakat Aceh dibentuk oleh karakter dan tatacara tradisi meuseuraya (gotong royong).

Dari Aspek Pertahanan Keamanan

Krisis multi dimensi telah menjadikan perekonomian terpuruk, menyebabkan tingkat kriminalitas yang tinggi dan sebaliknya mengakibatkan kemampuan dan mental aparat menjadi rendah. Konflik vertikal maupun horizontal yang terjadi di beberapa daerah telah menyebabkan masyarakat Indonesia saling curiga, bahkan saling membunuh di antara sesama warga bangsa, menandakan bahwa rasa sebangsa, setanah air, rela berkorban demi nusa dan bangsa serta kesadaran bela negara telah hilang. Dalam sejarah adat Aceh diketahui, bahwa konflik yang terjadi dalam komunitas masyarakat gampong, baik yang bersifat individual (internal keluarga), antar individu maupun antar kelompok, diselesaikan dengan bingkai adat dan agama. Pola agama dan adat ini ternyata dapat membawa kepada kedamaian yang abadi dan permanen.

Suatu hal yang patut disyukuri bersama adalah ditandatanganinya Nota Kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka di Helsinki tanggal 15 Agustus 2005 yang mengakhiri konflik berkepanjangan di Aceh. Diyakini bahwa dengan kesepakatan ini, maka penyelesaian damai atas konflik tersebut akan menjadi babak baru dalam pembangunan kembali Aceh pasca tsunami untuk mencapai kemajuan dan keberhasilan.







Dengan memasukan alamat email dibawah ini, berarti anda akan dapat kiriman artikel terbaru dari I' m Mr. Budy.com di inbox anda:


Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar